Catatan untuk Homili, Perayaan Ekaristi Pemakaman P.Piet Nong Lewar,SVD


Teman, kali terakhir kita ketemu di Wisma Simeon, sehari sebelum Piet dibawa ke Kewapantai lantas ke Surabaya, tubuhmu panas ngeri: saya sentuh kakimu, pegang tanganmu, rasa dadamu.

Selama 12 bulan secara amat lamban tubuhmu terbakar, selama 12 bulan engkau menantikan pelepasan, 12 bulan dalam api penyucian. Kanker itu jahat: Mulai di usus dan selama setahun penuh merambat hingga seluruh tubuhmu jadi sebuah oven.

Saya tak heran kalau pada hari-hari terakhir di Wisma Simeon itu, engkau sulit menghadapi yang tak kunjung datang, hari demi hari menghadapi yang tanda-tanya.

Ya, itulah moto tabhisanmu, Piet:
Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda-tanya.”
Dari mana, Piet, kau dapat logo tahbisan macam itu?
Dari buku seorang pejuang, seorang aktivis muda, Soe Hok Gie
dari buku kegemaranmu, Catatan seorang Demostran.

Soe Hok Gie: seorang aktivis dan penyair.
Ia baru berumur 27 tahun dan ia mati keracunan gas bumi di puncak Gunung Semeru.
Ketika itu engkau seorang novis di sini, di Ledalero.

Dan minat membaca itu, timbul ketika Piet masih anak SMA di Mataloko,
dari Rektor Alex Beding, dan dariguru sastra Indonesia yang awam.
Tapi bukan sastra apa saja yang kau gemari, hanya sastra yang mendukung perubahan sosial,
sastra orang-orang aktivis, sastra yang membahasakan daya juang
dari anak muda seperti Soe Hok Gie, dan dari orang tua seperti Pramoedya Ananta Toer.
Dan minta itu bertahan, Minat kau lanjut di Ledalero dng membaca Horison & Basis.
Malah bertahan 48 tahan dalam kaul misioner, 40 tahun dalam imamat pastoral.
Piet, engkau tetap berjuang, tetap mendukung perubahan sosial, konsisten, tanpa kompromi.

Tampaknya, semboyan tahbisanmu, bukan semboyan belaka, tapi motif hidupmu:
Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda-tanya.”

Itulah engkau, Piet Nong Lewar.
Itulah kesakisan hidupmu selama hampir setengah abad dalam kaul misioner.

Masa TOP kau di Merauke.
Sepulang dari Papua – Irian waktu itu–
kau bawa sebuah tifa yang kau taruh di atas lemari buku di kamarmu di Ledalero.
dan seuntai bulu burung kasuari yang kau gantung di dinding.

Orang yang punya tifa, sebagaimana kau tulis di Vox, seolah-olah berkata:
ajarlah kami memalu gendering tifa kami sendiri dalam lagu gembira
agar kami tiada larut dalam kecemasan

agar kami tiada larut dalam kecemasan.

Dan makna untaian bulu burung kasuari? Kau tulis - seolah memohon:
terimalah tangan kami dan bimbinglah kami dalam perarakan tarian kami sendiri agar kami tidak letih di tengah jalan, agar kami tidak letih di tengah jalan.

Rasanya, Piet, dalam segala perjuanganmu di tengah umat sederhana,
di tengah umat Flores Timur selama 40 tahun, engkau, Piet,
tidak larut dalam kecemasan, dan tidak pernah merasa letih di tengah jalan – kecuali mungkin sesekali pada bulan-bulan terakhir, dalam tahun api penyucianmu di wisma Simeon.

Dan judul yang kau coret di atas tulisan di Vox itu?
“Miliku kini, cuma sebuah harapan.” “Miliku kini, cuma sebuah harapan.”
Hebat, frater Piet Nong dulu.
Memang, tanpa mimpi masyarakat mati. Dan mimpi engkau adalah cuma sebuah harapan.

Ada satu lagi coretan yang saya kemukan, Piet, yang kau tulis pada tahun engkau berkalu kekal, 1976, kali ini di buletin Wisma.
Tulisan ini rasanya agak kurang ajar, tapi editornya, Alex Tabe, memuatya.
Judulnya: “Logika Sinting, Spiritualitet Semrawut.”

Kau tulis, Tuhan malas: “karena untuk cita-citanya menyelamatkan dan mendamaikan dunia ini tiada kepalang tanggung ia memeras tenaga manusia.

Tuhan sombong: untuk menggolkan ambisinya ia tuntut manusia berendah diri.

Tuhan miskin: miskin segala bakat - segala bakat manusia hendak ia berkas jadi satu, biar ada kaki dan tangan dan kepala.

Tuhan memeras tenaga manusia. Tuhan tuntut manusia berendah diri.
biar ada kaki dan tangan dan kepala.

Itulah engkau, Piet, selama berjuang bersama umat Flores Timur.
Demi melawan korupsi, demi menghapus hukuman mati, demi menolak tambang, Demi upaya Youth interfaith Forum on Sexuality – YIFOS,demi mendampingi koperasi kredit, & secara istimewa Yayasan Ayu Tani.
Kau, Piet,  bersama umat diperas tenagamu, terpaksa berendah diri, lantas menjadi kaki dan tangan dan kepala Tuhan di kawasan Flores Timur.

Piet, rekan-rekan pejuangmu hadir bersamamu pagi hari ini.
kamu sama-sama menggali kepingan-kepingan budaya masyarakat,
menggali kearifan lokal, karena dalam menghadapi yang tanda-tanya, Piet,
kau senantiasa mendorong perubahan sosial, dng berpihak pada para petani.

Piet, saya tahu bahwa kau cukup pintar. Kau baca banyak & tulis sedikit-sedikit. Kau pernah belajar bahasa Inggris di Irlandia, dan bahasa Jerman di Jerman. Kau ikut kursus Tersiat di Nemi juga kursus Dei Verbum – bersama uskupmu, Darius Nggawa.
Sebelumnya kau pernah di Girisonta, pun pernah belajar komunikasi.
Kau belajar dari tahun ke tahun. Hebat.
Dan selalu kau kembali ke basis, ke tengah umat biasa-biasa di Flores Timur.

Piet, saya melihat engkau sebagai seorang Pastor kampung yang pakai otak.
anak tani yang jadi pastor kaum petani.
Seorang pastor yang berpikir, pastor kampung yang merencanakan.
Dengan umat desa engkau menemukan kebahagiaan dalam panggilanmu.

Sebetulnya, Piet kau tidak pilih Flotim sebagai medan juangmu?
Ketika lamar, kau pilih Papua Neugini,
frater SVD paling pertama dari Seminari Ledalero yang melamar bekerja di luar negeri.

Sekarang tak ada frater yang mau pilih tinggal di Indonesia, tetapi pada tahun 1976 itu,
40 tahun yang lalu, belum pernah ada alumni Ledalero yang memilih misi di luar negeri.

Tapi tidak jadi.
Sebenarnya, Markus Moa, Regional SVD Ende waktu itu, mendukung pilihanmu,
asal ada teman lain. Tapi, dari teman-teman kelasmu, tak ada satupun yang mau.
PNG jadi Flotim. Dan di Flotim engkau tanam hatimu, sepenuhnya selama empat dasawarsa.

Itu sudah: “Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda-tanya.”

Kau tekun, konsisten, dari paroki ke paroki, dari kasus ke kasus,
memandang setiap tantangan, setiap tanda-tanya kau pandang, kau nilai, dari pihak para korban.

Rupanya, itu adalah hasil olah diri, olah bacaan, olah cita-cita secara terus-menerus.

Tapi, Piet, saya mau tanya: apakah lebih cocok kalau dulu kau masuk sebuah LSM saja,
dan bukan SVD? Kau mau jawab apa?
Itulah cita-cita Tarekat sebagaimana engkau menghayatinya.

Betul, juga! Apa lagi cita-cita Yesus dari Nazaret.

Piet, kau sudah pergi. Nanti kita akan sama-sama menghadap Sang Hakim Agung. Dan pertanyaan Sang Hakim Agung kita dengar tadi dalam bacaan Injil.

“Aku lapar – dan kau buat apa?”
“Aku haus – dan kau di mana?”
“Aku seorang asing – dan kau merangkul saya atau tidak?”
“Aku telanjang – jangan sampai kau tutup mata.”
“Aku sakit - jangan sampai kau bilang ‘salah sendiri’.”
“Aku seorang napi – dan engkau anggap diri serba saleh?”

Yesus itu kurang ajar sekali: Tak ada pertanyaan tentang doa atau devosi atau agama.
Aku lapar, akau haus. Ya, Tuhan yang lapar, Tuhan yang haus.

Bagi engkau, Piet, pilihanmu amat jelas.
Memperjuangkan perubahan sosial bersama kaum tani agar orang yang paling sederhanapun dihargai, diakui, diterima, dan dapat hidup bahagia dalam kebebasan anak-anak Allah.
Dan itu yang memberi fokus pada pembaptisanmu, Piet, pada kaul misionermu,
pada seluruh hidupmu selama 40 tahun sebagai seorang misionaris.

Hidupmu terfokus, terarah, konsisten, tanpa kompromi hingga detik-detik terakhir.

Piet, mengikuti riwayatmu, saya pikir kau butuhkan dua sarana agar bisa
berani menghadap yang tanda-tanya selama 40 tahun.

Pertama, kau harus berkepala batu.
Tanpa keras kepala, mana bisa kau dapat berjalan lurus pada dunia yang bengkok.
Itulah syarat pertama: sikap keras, konsisten, lurus hingga akhir hayat.

Kedua, kau harus punya hati, satu-satunya subyek cinta, cinta tanpa pamrih,
yakni Yesus, Si Tukang kayu, Si Pemimpi dari Nazaret.

Apa saja tantangan yang kau hadapi di medan juang selama 40 tahun, Piet,
entah dari segelintir umat yang merasa kedudukan & kepentingan mereka terancam,
Entah dari segondok rekan pastor yang puas dengan ikut arus saja,
apa lagi kalau seandainya ada yang cuma mencari kepuasan sesaat;
Pula engkau ditantang oleh pimpinan yang membuat kau mempertanyakan
arah dan motivasi hidupmu.

Tak apa-apa. Tandas rasul Paulus:
Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus?
Penganiayaan? Kelaparan? Ketelanjangan? Bahaya? atau Pedang?
Aku yakin, bahwa baik maut maupun hidup,
Baik malaikat-malaikat maupun pemerintnah-pemerintah, [termasuk pemerintah Flotim, mungkin??]
Baik yang ada sekarang maupun yang akan datang,
Atau kuasa-kuasa, baik yang di atas maupun yang di bawah,
Atau sesuatu makhluk lain mana pun,
Tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah
Yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita”.

Dua sarana kunci, Piet: Kepala batu agar lurus, dan kasih Kristus agar tulus.

40 tahun berani menghadapi yang tanda-tanya.

Kata idolamu, Soe Hok Gie: “Sang Elang terbang sendirian.”

Baik Piet. Kita sampai di sini dulu.
Saya mau menyampaikan selamat jalan, tapi kau sudah jalan!

Kebetulan (??) hari ini, hari pemakamanmu, adalah hari kematian Yosef Nissen,
Yosef meninggal 41 tahun lalu.
Boleh jadi, Yosef Nissen ini, Sang Rasul Tana Ai’ yang membaptis engaku dulu.

Saya kira kamu berdua sudah ketemu.

Dan saya yakin pula bahwa engkau sudah bertemu dengan Frans Amanue.
Anda berdua: kepala batu  agar tetap konsisten - dan kasih Kristus supaya hati sungguh ikhlas.

Kami yang lain masih berziarah, walau agak berliku-liku jalannya.
Maka saya tinggalkan satu pesan: Coba jaga tempat untuk kami –
bagi sama saudaramu, keluargamu, bagi umat yang kau layani selama ini,
secara istimewa bagi saudarimu yang menjaga engkau dengan tekun selama tahun terakhir ini, yang tetap setia di sampingmu untuk melayanimu di Wisma Simeon,
hari demi hari, bulan demi bulan, sepanjang tahun penderitaanmu.

Piet, kami berharap engkau siap menerima kami nanti - dan kalau boleh –
siap juga sebotol moke sebagaimana kau selalu menerima dan welcome kami
setiap kali kami singgah di pastoran selama ini.

Kepala batu – konsisten - dan kasih Kristus – tulus ikhlas.
Dan kasih Kristus itulah yang mendorong kita.

Karena sesungguhnya, “Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda-tanya.”

Teman, sekian dulu. Sampai jumpa kelak.


John Mansford Prior, SVD

16 April 2016, jam 05:30.