KPKC/JPIC SEBAGAI MATRA KHAS PELAYANAN KELUARGA ARNOLDIAN

Simon Suban Tukan,SVD


1. Pedahuluan

Perkenankan saya mengawali makalah ini dengan mengutip Konst. SVD berikut: “Orang-orang miskin mendapat tempat khusus dalam Injil. Dalam suatu dunia yang sangat dilukai oleh ketidakadilan dan oleh keadaan hidup yang tak berperikemanusiaan, iman kita mendesak agar kita mengakui kehadiran Kristus dalam diri orang yang miskin dan yang tertindas. Oleh karena itu kita melibatkan diri dalam usaha mengembangkan persatuan dan keadilan serta menanggulangi egoisme dan penyelahgunaan kekuasaan. Maka hendaknya kita memandang sebagai suatu kewajiban kita memajukan keadilan menurut Injil Kristus dalam sikap solider dengan kaum miskin dan tertindas (No.112)

Selanjutnya, makalah ini terdiri atas empat (4) bagian utama, yaitu: Pendahuluan, Keterlibatan Gereja Universal dan SVD untuk KPKC, Bidang-bidang pelayanan KPKC dan penutup.

2. Keterlibatan Gereja Universal dan SVD untuk KPKC

2.1. Landasan Teologis

Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan pertama-tama adalah nilai-nilai Kerajaan Allah. Ini berarti, Allah peduli dan terlibat dalam dunia kehidupan kita agar dunia ini menjadi suatu dunia yeng penuh keadilan, perdamaian dan keutuhan kehidupan dalam semua makhluk ciptaan.

Dalam sejarah keselamatan peristiwa pembebasan dari Mesir, yang disusul dengan perayaan perjanjian antara Allah dan manusia (Israel), Allah memperkenalkan diri sebagai Allah yang menyelamatkan, membebaskan: Allah yang adil dan penuh belaskasih, melindungi kaum miskin, janda dan yatim piatu: Allah yang menuntut umat-Nya menuju suatu pengharapan akan perdamaian dan rekonsiliasi. Para nabi adalah orang-orang yang secara khusus dipilih untuk menunjukkan dan mewujudkan proyek Allah tersebut.

Dalam Yesus Kristus, Allah menyatqakan kehendak-Nya untuk memperbaharui manusia dan seluruh makhluk ciptaan, suatu re-kreasi (penciptaan kembali). Inkarnasi adalah suatu misteri yang memancarkan kedinaan Allah (Minoritas Dei), menjadi hamba demi manusia, dekat pada mereka yang kecil dan miskin, suatu keputusan untuk menjadi “Immanuel” (Allah bersama kita).

Dalam memproklamasikan tugas perutusan-Nya, Ia memperkenalkan diri sebagai Dia yang diurapi oleh Roh untuk mewartakan khabar baik bagi orang miskin, memeberitakan pembebasan bagi yang tertawan, penglihatan bagi yang buta dan mewartakan Tahun rahmat Tuhan (Lk 4: 16-19). Inilah tanda-tanda Kerajaan Allah. Jadi misi perutusan Yesus Kristus adalah berpusat pada pewartaan dan kesaksian tentang Kerajaan Allah.


  1. Sebagian bahan ini merupakan masukan dari berbagai lokakarya KPKC yang dibuat oleh Jejaring KPKC yang ada di Indonesia.
  2. Koordinator Komisi KPKC Provinsi SVD Ruteng.

­

Evangelium Nuntiandi menyebutkan bahwa Yesus Kristus adalah Inil Allah dan Penginjil Utama dan yang terbesar (EN 7). Yesus pertama-tama mewartakan Kerajaan Allah, dengan Sabda-Nya, tanda-tanda dan kesaksian. Inti Kerajaan Allah adalah keselamatan, sebagai anugerah Allah, dan pembebasan dari segala sesuatu yang menindas manusia, terutama dosa dan kejahatan. Keselamatan dan pembebasan akan terwujud melalui pewartaan ajaran baru yang disampaikan dengan penuh kuasadan melalui tanda-tanda yang tak terbilang (Mk. 1:27). “Di antara semua tanda itu, ada satu yang dipandang-Nya penting sekali: mereka yang hina dan miskin menerima pewartaan Injil, menjadi murid-mudir-Nya dan berkumpul dalam nama-Nya dalam persekutuan besar mereka yang beriman akan Dia! (EN.12).

Keadilan dan perdamaian merupakan dua nilai sentral dari Kerajaan Allah. Dalam perikop Kotbah di Bukit (Magna Charta Kerajaan Allah), mereka yang lapar dan haus akan keadilan disebut bahagia, juga mereka yang dianiaya karena keadilan, karena merekalah yang empunya Kerajaan surga (Mt. 5:6.10). Demikian juga mereka yang membawa damai, mereka akan disebut anak Allah (5:9). Dalam perikop lain Yesus mengemukakan tentang keutamaan hidup kristiani: carilah dahulu kerajaan Allah dan keadilannya (Mt 6:33). Yesus sendiri telah mengutamakan mencari Kerajaan Allah dan keadilannya, memperlihatkan lapar dan haus akan keadilan dan dianiaya karena itu. Dia adalah juga sumber, pemberi damai dan pembawa damai.

Keselamatan yang dianugerahkan Yesus mencakup seluruh hidup. Yesus menyelamatkan dan membebaskan manusia dalam semua dimensinya, secara integral. Sebagai gembala yang baik, Ia membagikan hidup-Nya kepada kita dan menjadikan kita pelayanan kehidupan. Ia menyembuhkan tubuh dan mengampuni dosa, mengembalikan seseorang ke dalam komunitas, menciptakan hubungan persahabatan dan berada di sekitar menja bersama orang berdosa dan pendosa publik, memperlihatkan tanda berbagi hidup, mendekati orang kusta, juga pemimpin agama dan politik, member hormat dan menghargai martabat wanita dan anak-anak, mengundang semua kepada pertobatan, iman, kepercayaan pada Allah Bapa, belaskasih kepada yang miskin, mendengar dan mempertaktekkan apa yang dikatakan-Nya, mewujudkan kasih juga kepada musuh.

Keadilan yang dipraktekkan dan diwartakan Yesus dikaitkan dengan belaskasih. Perdamaian yang dianugerahkan-Nya tidak seperti yang diberikan dunia dan merupakan buah dari rekonsiliasi yang mendalam. Untuk memberikan dan mewujudkan keadilan dan perdamaian dengan lebioh berdaya guna, ia memilih jalan kasih sampai memberikan hidup-Nya. Hal itu juga merupakan pewartaan Kerajaan Alah: Ia memperlihatkan bahwa Allah Kerajaan yang diwartakan-Nya adalah Kasih, yang dianugerahkannya untuk menyelamatkan, membenarkan dan memperdamaikan dunia. Kebangkitan merupakan konfirmasi dari kekuatan penyelamatan yang terjadi melalui jalan salib, pemberian hidup, pelayanan, kesetiaan pada kehendak kasih Allah. Kristus yang bangkit adalah paradigma dari manusia baru. Siapa berjumpa dengan Dia, menerima dia, percaya kepadanya mengubah hidup, akan mengalami suatu hidup baru, menerima anugerah Roh, menjadi Anak Allah, masuk ke dalam perpsekutuan baru, menjadi anggota komunitas orang percaya, saudara-saudari, terbuka terhadap semua orang dari setiap ras, budaya, suku. Juga smeua ciptaan menghambil bagian dalam menerima kebebasan yang terjadai dalam peristiwa Yesus. (Rom 8:9).

2.2. Sejarah Keterlibatan Gereja Universal

Revolusi industri di Eropa dengan segala dampaknya pada abad pertengahan telah membuat Gereja universal harus merumuskan dirinya secara baru di tengah dunia. Kehidupan kaum buruh yang dieksploitasi untuk kepentingan industri dan menjauhkan kaum buruh dari kehidupan Gereja, mendorong Paus Leo XIII pada tahun 1891 mengeluarkan eksiklik Rerum Novarum yang berbicara tentang kondisi tenaga kerja. Melalui Ensiklik ini Gereja ditantang untuk menunjukkan keberpihakan kepada kaum perkerja, memperjuangkan nasib mereka dengan mendorong para pemodal untuk melakukan tanggung jawabnya atas kaum pekerja, melukiskan peranan pemerintah yang sebenarnya dan melindungi hak-hak pekerja untuk berorganisasi, membentuk serikat pekerja untuk mengusahakan upah dan kondisi kerja yang adil.

Sesudah Ensiklik ini, menyusul banyak dokumen lain yang merefleksikan dan menunjukkan jalan bagi keterlibatan sosial gereja bagi kehidupan umat manusia. Di antara dokumen-dokumen itu Gaudium et Spes (GS)sebagai hasil Konsili Vatican II, menegaskan dengan terang agar Gereja terlibat dalam kehidupan umat manusia yang konkrit Dalam artikel 1 GS dikatakan: “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga” Konsili menghendaki agar persekutuan Gereja Kudus, melibatkan diri dalam setiap kondisi hidup manusia.

Kesadaran akan tanggung jawab sosial Gereja terhadap adanya suatu tatanan sosial yang adil dan damai, dirumuskan oleh konsili dalam GS art. 90, “Adapun Konsili, seraya mengindahkan penderitaan-penderitaan tiada hingganya, yang sekarang pun masih menyuiksa mayoritas umat manusia, lagi pula untuk di mana-mana memupuk keadilan maupun cinta kasih Kristus terhadap kaum miskin, memandang sangatpada tempatnya mendirikan suatu lembaga universal Gereja, yang misinya ialah mendorong persekutuan umat Katolik, supaya kemajuan daerah-daerah yang miskin serta keadilan sosial internasional ditingkatkan”.

Dengan dorongan konsili itu, pada tanggal 6 Januari 1967 Paus Paulus VI membentuk komisi kepausan, Justia et Pax dan mengajak Gereja sejagad untuk membentuk lembaga atau badan yang menangani pastoral untuk Keadilan dan Perdamaian.

Setelah suatu periode percobaan sekitar 10 tahun, Paulus VI dengan satu motu proprio (Keadilan dan Perdamaian) memberikan mandat definitif kepada komisi ini 10 Desember 1976. dengan Konstitusi Pastor Bonus 28 Juni 1988, dengannya Paus merestrukturasi Curia Romana, maka Keadilan dan Perdamaian menjadi Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, menegaskan kembali garis tugas dan fungsinya.

Sebagai tanggapan atas seruan Paus tersebut, pada tahun 1981, Sidang MAWI mulai membahas kemungkinan membentuk lembaga untuk pastoral keadilan dan perdamaian. Hasilnya, pada tahun 1985, MAWI membentuk Sekretariat Keadilan dan Perdamaian di bawah Komisi PSE. Sekretariat itu berubah menjadi Komisi tersendiri pada Sidang Agung KWI tahun 1990.

2.3. Maksud dan mandat

Maksud dan mandat Dewan Pontifikal ini ditentukan dengan amat tepat dan terpadu dalam Pastor Bonus. Teks tersebut memperlihatkan keutuhan, sebagaimana ditulisnya: Dewan ini bergerak sedemikian rupa sehingga di dunia dia mempromosikan keadilan dan perdamaian menurut Injil dan Ajaran Sosial Gereja (art. 142).

  • memperdalam ajaran sosial Gereja, dengan demikian dapat semakin tersebar dan diterjemahkan secara konkret baik oleh pribadi maupun kelompok, terutama yang berkaitan dengan hubungan antara pekerja dan majikan agar semakin diresapi oleh roh Injil.
  • Mengumpulkan brita dan info sekitar keadilan dan perdamaian, kemajuan rakyat dan kekerasan terhadp HAM, dan di sana menilai, bnerdasarkan peluang, melibatkan badan-badan keuskupan yang terkait; mengutamakan hubungan dengan asosiasi Katolik internasional dan lembaga lain; juga di luar Gereja Katolik yang terlibat dengan tulus demi nilai-nilai kekadilan dan perdamaian di dunia.

Mendorong agar muncul kepekaan dalam hal yang terkait dengan perdamaian terutama pada

2.4. Bidang Aksi

Tugas utama dari dewan ini adalah belajar demi aksi. Tugas tersebut dijalankan dengan titik tolak ASG, Paus dan Uskup dan membantu pengembangannya. Aksi dewan terutama diarahkan pada tiga bidang:

KEADILAN : termasuk dalam buidang keadilan adalah soal-soal kekadilan sosial, dengan masalah-masalah khusus dalam dunia kerja, keadilan internasional dengan soal-soal terkait dan dengan dimensi sosialnya, tetapi juga upaya dan refleksi etis dari perkembangan sistem-sistem ekonomi dan keuangan, tidak terkecuali soal-soal lingkungan dan tanggungjawab demi kebaikan lingkungan.

PERDAMAIAN : merefleksikan hal-hal yang terkait dengan peperangan, persenjataan, perlucutan senjata dan perdagangan senjata, keamanan internasional dan kekerasan dengan macam-macam aspek dan motiviasinya (terorisme, nasionalisme sempit, etc.), Dean mesti memperhatikan sistem-sistme politik dan keterlibatan orang-orang Katolik dalam bidang politik. Juga mempromosikan hari perdamaian dunia.

HAK ASASI MANUSIA : Dewan Keadilan dan Perdamaian mesti memperhatikan masalah HAM, yang sekarang ini sekain penting dalam misi Gereja. Ajaran Yohanes Paulus II menempatkan pada posisi penting martabat manusia yang menjadi dasar bagiu promosi dan upaya mempertahankan HAM. Aktivitas terkait dengan itu terarah pada tiga prinsip: memperdalam ajaran, mempelajari tema-tema yang diperdebatkan dalam bingkai organisasi iternasional, keprihatinan pada korban kekerasan HAM.

2.2. Keterlibatan Keluarga Arnoldian (SVD-SSpS) 2.2.1. Pengalaman Generasi I dan seruan Kapitel

Seperti bidang-bidang lain, Pelayanan untuk keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan dalam keluarga besar Arnoldus Janssen merupakan bagian integral dari kehidupan kongregasi dan setiap anggotanya. Keprihatinan dalam bidang ini, sudah ada sejak masa Arnoldus Janssen, meskipun keprihatinan itu baru svngguh-sungguh nyata pada masa pertempuran Bokser di Cina pada Juli 1900. Keprihatinan ini muncul melalui diri St. Yosef Freinadametz, misionaris pertama SVD. Dalam suasana pertempuran itu, St. Yosef memindahkan sekelompok anak yatim piatu ke daerah yang relatif aman, dan ia sendiri tingal dengan jemaat Kristen di wilayah pedalaman.

Keprihatinan itu terus diwariskan kepada para anggota SVD, sampai serikat menjadikannya satu pusat perhatian, pada tahun 1957. Keprihatinan itu kemudian ditegaskan dalam Konst.SVD No.112 dan dijabarkan secara konkrit dalam beberapa kapitel terakhir, yakni: Kapitel XIV SVD sampai dengan kapitel XVI SVD. Melalui kapitel-kapitel, General dan Propinsi, SVD merumuskan diri secara baru bagi karya misi melalui dialog dengan berbagai keanekaragaman: dialog dengan manusia dari berbagai bangsa, dari berbagai agama, dari berbagai kebudayaan dan dengan orang-orang miskin dan tertindas. Dialog itu bersifat profetis. Olek karena itu, dalam 10 tahun terakhir SVD dan SSpS menjadikan pelayanan di bidang KPKC sebagai suatu prioritas, satu matra khas bagi karya misinya.Artinya semua anggota SVD khususnya dan para pengikut St. Arnoldus Janssen mewajibkan diri untuk melibatkan diri dalam usaha-usaha menegakkan keadilan dan menciptakan damai.

Berkarya demi KPKC, menuntut suatu pilihan yang tegas di tengah nilai-nilai yang saling bersaing. Pada satu pihak dunia kita dewasa ini sangat menekankan nilai uang dan kekuasaan, sampai memanfaatkan kekerasan dan penindasan dan pemerasan terhadap manusia dan planet kita untulc memperoleh nilai-nilai itu. Pada sisi lain Kerajaan Allah adalah kebenararnn damai sejahtera dan suka cita dalam Roh. Di tengah persaingan ini, pilihan kita tidak lain adalah mengupayakan kesejahteraan bagi semua orang termasuk bagi kaum miskin, mereka yang tersingkirkan dan menderia, agar terciptalah damai sejahtera.

Untuk itu kita perlu bersama-sama sebagai sebuah keluarga besar Arnoldian memberi perhatian yang sungguh-sungguh terhadap bentuk-bentuk ketidakadilan yang terjadi di sekitar kita. Perjuangan kita bukan hanya melawan kelaparan, ketidaktahuan dan pengingkaran martabat dan hak-hak asasi manusia, melainkan terutama melawan kebejatan dalam hati manusia yang menjadi akar pelbagai struktur dan sistem penindasan yang melahirkan kejahatan-kejahatan. Karena itu, yang dituntut dalam karya ini bukan kaberhasilan dan kemenangan, melainkan kataatan dan keterlibatan. Keterlibatan bukan untuk keberhasilan, melainkan demi Kerajaan Allah dan nilai-n.ilainya. Kita harus tetap percaya kepada Allah dan kepada perutusan kita, seperti para nabi, terutama seperti Yesus yang terus mewartakan Kabar Gembira, entah keadaan menguntungkan entah tidak. Dalam perjuangan ini, kita tidak pernah akan tahu strategi politik apa yang terbaik, tetapi kita tahu bahwa Allah memelihara semua orang yang menjadi korban, Ia berpihak kepada orang-orang yang menderita, maka kita dapat menjadi taat kepada Allah kalau kita berpihak kepada mereka.

Selain itu kita juga dipanggil untuk menyelamatkan bumi kita dan ciptaan lain dari segala macam hawa nafsu yang mencemarkan dan merusaknnnya. Perjuangan demi keutuhan ciptaan menuntut kita agar mencintai dunia dan mengakui manfaat dunia dan ciptaan lain bagi manusia.

Di sini perjuangan untuk KPKC menuntut pertobatan radikal dari setiap kita, kita bertobat dan beralih dari sikap ingat diri kepada tanggung jawab bagi dunia dan orang-orang lain.Sejauh mana keterlibatan kita dalam kerasulan untuk KPKC selama ini? Kerasulan KPKC macam manakah yang cocok dijalankan di tempat kita?

2.2.2. Tekad dan Belajar Bersama

Dalam ketaatan terhadap panggilan Allah dan dijiwai oleh Roh Yesus kita menumbuhkan tekad dalam diri kita masing-masing bahwa kita dipanggil untuk menumbuhkan sikap dan mentalitas serta cara hidup yang dapat memperbaiki kondisi hidup bersama, yakni memberantas struktur sosial yang menindas dan membangun solidaritas bersama untuk mewujudkan manusia merdeka dengan kehidupan yang berkeadilan dan damai.

Sehubungan dengan itu kita ditantang oleh teladan Yesus Kristus dan tokoh-tokoh lain Kitab Suci serta para pejuang Keadilan dan Perdamaian di zaman Modern, seperti Martin Luther King, Muder Teresa dari Calcuta, dsb, kita belajar dari waktu ke waktu selama proses pembentukan dan pendidikan untuk selalu merasa tergerak memberikan tanggapan nyata terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan. Kita belajar untuk:

  1. meneguhkan keyakinan bahwa manusia adalah pribadi uni yang luhur dan bermartabat sebagai citra Allah.
  2. mengembangkan sikap-sikap: adil, jujur, benar, penguasaan diri dan solider dalam hidup bersama setiap hari dan juga dalam masyarakat.
  3. Mengembangkan sikap kritis dan analitis dengan banyak membaca dan diskusi-diskusi masalah-masalah Sosial kemasyarakatan: kekerasan sosial, militerisasi, pemiskinan sosial, pembakaran dan penebangan hutan secara liar, dll.
  4. Belajar hidup apa adanya dan hemat melalui penguasaan diri.
  5. Melindungi dan menegakkan hak-hak asasi manusia dengan memperhatikan teman-teman yang lemah dan tidak melakukan kekerasan terhadap teman, setia kawan tapi bukan dalam hal-hal buruk, dll.
  6. Mengembangkan pola hidup sehat.
  7. Melestarikan dan memulihkan keutuhan ciptaan dengan membuang sampah pada tempatnya, melakukan penghijauan, tidak menebang pohon-pohon yang ada dan tidak membakar secara sembarangan.

3. Pelayanan KPKC: Sasaran, Sifat dan bidang pelayanan 3.1. Sasaran Pelayanan KPKC

Pertanyaan awal sebelum melaksanakan sebuah pelayanan KPKC ialah “siapa yang membutuhkan pelayanan KPKC?” Saya ingin menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan bahwa yang membutuhkan pelayanan KPKC adalah sbb.:

  1. Semua orang Katolik pada umumnya. Pelayanan JPIC yang dibutuhkan di sini bukannya bantuan material melainkan bantuan spiritual. Maksudnya ialah semua orang Katolik perlu dibantu dengan pelayanan KPKC yang bersifat animatif-spiritual. Semua orang Katolik berkewajiban untuk mengetahui dan mendalami nilai-nilai keadilan dan perdamaian yang terkandung pertama-tama di dalam Kitab Suci. Mereka harus mencari tahu apa kata Kitab Suci tentang KPKC itu, karena Kitab Suci mengajarkan nilai keadilan dan perdamaian yang melebihi pemahaman ilmu-ilmu lainnya. Sampai saat ini pemahaman kita tentang keadilan mungkin seperti yang diperoleh dahulu di bangku sekolah atau kuliah, di mana pemikiran si filsuf Aristoteles itulah yang tertancap di otak kita. Ia mengatakan: “Keadilan adalah memberikan kepada seseorang apa yang menjadi haknya.“ Akan tetapi, saat ini pemikiran Aristoteles tersebut bukan satu-satunya ajaran yang patut dipegang. Sebagai orang Katolik, perlu disadari bahwa Sabda Allah dalam Kitab Suci itulah yang sebenarnya menjadi pedoman hidup orang Katolik. Karena itu, setiap dan semua orang Katolik perlu dan wajib memiliki pemahaman yang tepat tentang KPKC tersebut seperti yang disabdakan di dalam Kitab Suci. Maka pelayanan KPKC bagi semua orang Katolik sangat penting dan perlu diberikan.
  2. Secara khusus:
  3. Para promotor KPKC. Tidak mungkin semua orang Katolik mau memberikan dirinya secara khusus untuk menjadi promotor KPKC. Yang pasti ialah hanya sekelompok orang saja yang sungguh-sungguh berminat dan merelakan dirinya untuk berkarya sebagai promotor keadilan dan perdamaian. Kepada mereka ini pelayanan KPKC sangat perlu diberikan, terutama pelayanan KPKC yang bersifat animatif dan motivatif. Bentuk konkrit dari pelayanan ini misalnya pelatihan-pelatihan KPKC yang bertujuan untuk membentuk dan memperkuat spiritualitas mereka, sehingga mereka tidak cepat putus asa dalam melaksanakan tugas pelayanannya. Mereka inilah yang menjadi petugas-petugas khusus pelayanan KPKC, karena itu mereka perlu mendapatkan kekuatan baik berupa pengetahuan, ketrampilan, maupun spiritualitas.
  4. Para korban ketidakadilan. Mereka inilah yang menjadi perhatian utama dari pelayanan KPKC, karena Allah dalam PL dan Yesus, Tuhan kita dalam PB, sudah lebih dahulu melakukannya. Allah dan Yesus Putera-Nya telah memberi contoh keberpihakan-Nya kepada para korban ketidakadilan yang disebut dalam KS sebagai “kaum miskin” (the poor). Mereka yang diperlakukan secara tidak adil inilah yang paling dikasihi dan diperhatikan oleh Allah, karena mereka adalah gambar Allah sendiri. “… sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Mat 25:40).
  5. Para pelaku ketidakadilan/kejahatan. Mereka ini sepertinya belum tersentuh oleh pelayanan KPKC. Kalau kita merefleksikan pelayanan KPKC yang dikerjakan baik oleh Gereja (umat) Katolik maupun oleh Tarekat Religius di Indonesia selama ini, kita harus mengakui terus terang dan perlu merasa malu karena kita belum sama sekali melakukan pelayanan KPKC kepada para pelaku ketidakadilan tersebut. Kita hanya mengeritik, malah juga mungkin ikut mencaci maki mereka. Padahal sebenarnya kita inilah yang harus melaksanakan pelayanan KPKC itu kepada mereka, karena hal itu merupakan tugas utama kita. Maka, kita perlu berbenah diri dalam hal ini.

3.2. Sifat-sifat Pelayanan KPKC: Animatif, Pastoral, Misioner dan Profetik

Karya atau pelayanan KPKC yang dijalankan baik oleh Gereja (umat) Katolik maupun oleh Tarekat Religius adalah sebuah pelayanan KPKC yang bersifat-empat, yaitu: animatif, pastoral, misioner dan profetik. Di sini kata-kata animatif, pastoral, misioner dan profetik mendapat penekanan utama. Oleh karena itu, mari kita melihat bersama keempat sifat dari pelayanan KPKC tersebut.

Pertama, Pelayanan KPKC bersifat animatif. Sebuah pelayanan KPKC yang bersifat animatif bertujuan untuk menyadarkan umat Katolik pada umumnya tentang ketidakadilan dan ketidakdamaian yang sedang terjadi sekarang ini. Kegiatan penyadaran ini bermaksud agar umat Katolik tergerak hatinya untuk ikut berpartisipasi secara aktif di dalam pelayanan KPKC. Outcome (hasil) yang mau didapat dari kegiatan animasi ini ialah terjaringnya orang-orang yang mau dan rela menjadi promotor-promotor KPKC. Menjadi sangat bagus kalau mereka ini lalu membentuk kelompok-kelompok atau lembaga-lembaga KPKC. Selain itu juga, hasil yang diharapkan dari kegiatan ini adalah terjaringnya umat Katolik yang mau dan rela memberikan dukungan, dalam bentuk apa saja, kepada semua karya KPKC.

Kedua, pelayanan KPKC bersifat pastoral: Ini bertujuan untuk menggembalakan korban ketidakadilan yang beragama Katolik. Kegiatan tersebut dijalankan karena terdorong oleh semangat sang Gembala Agung, yang karena melihat adanya ketidakadilan dan ketidakdamaian berani menyerahkan diri-Nya demi keselamatan domba-domba-Nya. Menggembalakan di sini berarti memelihara/menjaga, melindungi, merawat dan mempersatukan mereka agar mereka menjadi sadar akan panggilan mereka sebagai pengikut Kristus. Dengan demikian mereka diharapkan dapat menolong dirinya sendiri dan juga tergerak hatinya untuk menjadi Kristus bagi sesamanya, yang juga menjadi korban ketidakadilan. Karena itu, kegiatan pelayanan tersebut merupakan sebuah sarana yang dipakai oleh gereja dengan maksud untuk (1) memelihara, melindungi, merawat, dan mempersatukan para korban tersebut agar tidak tercerai berai, dan (2) menyadarkan mereka akan panggilannya sebagai pengikut Kristus, yang hendaknya menjadi Kristus juga bagi sesamanya yang mengalami nasib yang sama. Dengan demikian mereka saling meneguhkan satu sama lain. Dan yang penting diperhatikan di sini ialah bahwa yang digembalakan itu adalah manusia, gambar Allah, yang bermartabat mulia. Inilah sifat yang kedua dari pelayanan KPKC.

Ketiga adalah misioner. Sebuah pelayanan KPKC yang bersifat missioner bertujuan untuk mewartakan nilai-nilai keadilan dan perdamaian kepada saudara-saudari non-Katolik, tanpa memandang suku, ras atau golongan. Kegiatan tersebut dijalankan dengan maksud untuk (1) memulihkan dan mengangkat martabat manusia yang direndahkan, (2) menciptakan jalinan relasi yang benar dengan Tuhan, sesama, diri sendiri dan alam ciptaan, dan (3) meningkatkan penghargaan terhadap hak-hak asasi dari mereka yang tersingkirkan, miskin dan tak berdaya. Pelayanan missioner KPKC ini terus dijalankan sekarang ini hanya karena Yesus Kristus, sang Misionaris Perdana, telah lebih dahulu melaksanakan misi tersebut (Luk 4:18-19). Dan Dia sendiri telah mengutus para pengikut-Nya untuk berbuat yang sama. Perlu dicamkan di dalam hati bahwa pelayanan KPKC yang bersifat missioner ini tidak dimaksudkan untuk mengkatolikkan para korban ketidakadilan tersebut.

Keempat, yaitu profetik, dimaksudkan sebagai sifat kenabian dari gereja dalam bidang KPKC. Pelayanan KPKC yang bersifat profetik bertujuan untuk “denuntiare” dan “annuntiare”. Denuntiare berarti berani membongkar kejahatan dan melawan/protes terhadap ketidakadilan yang terjadi, yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, tentu dengan berdasar kuat pada data akurat. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan dengan bijaksana cara-cara denuntiare tersebut, sehingga tidak menimbulkan banyak korban di pihak kaum kecil dan tak berdaya. Sedangkan annuntiare berarti berani menyampaikan dan mengungkapkan kebenaran di muka umum, baik secara lisan maupun tertulis. Karena itu gereja atau umat Allah (hirarki pun termasuk umat Allah), yang melakukan pelayanan di bidang KPKC sudah seharusnya mengenakan sifat kenabian dari pelayanan ini. Hal itu berarti bahwa umat Allah ditantang untuk berani mengungkapkan kebenaran dan membongkar kejahatan serta mengutuk dan melawan semua ketidakadilan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkuasa. Ini sungguh merupakan tantangan terbesar bagi gereja Katolik Indonesia dewasa ini. Siapakah dari kita yang berani tampil sebagai nabi Indonesia di jaman ini? Sebuah pertanyaan yang patut kita renungkan dengan sungguh-sungguh. Karena, kita dipanggil untuk menjadi seperti para nabi dan Yesus sendiri yang tidak takut-takut mengungkapkan kebenaran dan mengecam segala kebobrokan di jamannya.

Sifat-sifat pelayanan ini menunjukkan dua orientasi pelayanan KPKC, yakni orientasi ke dalam dan keluar Gereja Katolik. Ke dalam pelayanan KPKC diarahkan untuk menyadarkan umat, menggembalakan umat, mewartakan nilai-nilai keadilan dan perdamaian, dan berani mengatakan yang salah itu salah dan yang benar itu benar, seperti yang telah dilakukan oleh Yesus Kristus, sang Guru, Gembala Agung. Ke luar Gereja pelayanan KPKC diarahkan untuk kelompok-kelompok non Katolik yang dewasa ini lebih dikenal dengan dialog profetis.

Keempat sifat pelayanan KPKC ini sudah seharusnya nampak di dalam kegiatan-kegiatan konkrit yang berkaitan dengan KPKC. Kegiatan-kegiatan konkrit tersebut dapat digolongkan dalam beberapa bidang. Oleh karena itu, berikut ini saya ingin menyampaikan beberapa pemikiran pokok yang berhubungan dengan wilayah atau bidang-bidang Pelayanan KPKC itu. Bidang apa saja yang bisa kita kategorikan ke dalam Pelayanan KPKC yang bersifat animatif, pastoral, missioner dan profetik tersebut?

3.3. Bidang Pelayanan yang dikembangkan

  • Spiritual

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan Animasi-Spiritual ini, yakni:

  1. Yang dimaksudkan dengan Animasi-Spiritual KPKC di sini ialah kegiatan-kegiatan, baik langsung (tatap muka) maupun tak langsung (lewat tulisan) yang terus-menerus menyadarkan umat tentang panggilan mereka sebagai umat Katolik, yang karena pembaptisannya memiliki kewajiban, untuk ikut terlibat dalam karya-karya penegakan keadilan dan perdamaian. Jadi, yang mendapat penekanan di sini ialah umat dimotivasi dan dianimasi agar mereka ikut terlibat aktip dalam pelayanan ini. Mereka bukan hanya penonton, atau lebih-lebih lagi bukanlah hanya obyek pelayanan para petugas pastoral (promotor-promotor KPKC). Umat disadarkan dan didorong untuk menjadi subyek/pelaku dari pelayanan KPKC yang bersifat animatif, pastoral, missioner dan profetik ini.
  2. Konsekwensi logisnya ialah bahwa yang menjadi dasar Animasi-Spiritual adalah Kitab Suci, Ajaran Sosial Gereja dan Teologi Praktis yang berkaitan erat dengan KPKC. Semua bahan/materi ini berfungsi sebagai perangsang dan pendorong yang senantiasa menyemangati dan menjiwai para promotor KPKC dalam pelayanan mereka, sehingga mereka tidak gampang menyerah dan putus asa kalau ada tantangan yang dihadapi. Dengan kata lain, semua materi animasi kristiani ini bermanfaat besar untuk pembentukan spiritualitas para promotor KPKC.
  3. Pembentukan spiritualitas tersebut dapat terlaksana dengan baik apabila Komisi KPKC secara teratur dan terprogram menyelenggarakan pelatihan yang berkaitan dengan Refleksi Sabda Allah dari perspektif KPKC. Di sini KPKC dilihat sebagai perspektif. Sebagai perspektif, KPKC dipergunakan sebagai pegangan dalam membaca dan merefleksikan Sabda Allah yang dikisahkan didalam Kitab Suci.
3.3.2. Pemberdayaan para korban ketidakadilan

Beberapa hal yang hendaknya diperhatikan dalam kaitan dengan Pemberdayaan ini ialah:

  1. Para korban ketidakadilan tersebut adalah manusia yang bermartabat sebagai gambar Allah. Karena itu pemberdayaan yang dijalankan hendaknya bersifat pastoral (terhadap orang Katolik) dan missioner (terhadap orang non-Katolik). Artinya, semua kegiatan yang membantu mereka yang lemah, miskin dan tak berdaya (korban ketidakadilan), agar menjadi “berdaya” dalam segala bidang itu, hendaknya menyadarkan mereka akan kemampuan yang ada di dalam diri mereka. Sehingga dengan kemampuan itu mereka dapat membantu dirinya sendiri untuk keluar dari ketidakberdayaan mereka, dan diharapkan bisa juga menolong sesamanya yang lain. Dengan demikian, “daya/kekuatan/ kemampuan” yang telah diperolehnya itu dipergunakan untuk kepentingan bersama, seperti yang dikehendaki Tuhan sendiri, sambil tetap menghargai martabat pribadi manusia dan menghormati hak-hak asasi manusia. Pemberdayaan seperti ini bersifat inklusif, artinya merangkul semua orang tanpa memandang SARA. Dengan demikian pelayanan tersebut bersifat missioner.
  2. Pemberdayaan dalam segala bidang, maksudnya adalah dalam bidang sosial-politik (mis.: civil society, penyadaran hak-hak politik), sosial-ekonomi (mis.: pertanian, peternakan, koperasi, dll.), dan sosial-budaya (mis.: kesetaraan jender, lingkungan hidup, dll.). Oleh karena itu sangat dibutuhkan di sini kerja sama dengan semua komisi yang terkait dengan bidang-bidang tersebut (Kerawam, PSE, JMP, Migran-Perantau, dll.) atau lembaga-lembaga lain (LSM) yang punya kepedulian terhadap bidang-bidang tersebut.
  3. Ada orang berpendapat bahwa animasi termasuk didalam pemberdayaan. Tetapi saya berpendapat lain, yakni animasi berbeda dari pemberdayaan. Yang membedakan animasi dari pemberdayaan ialah bahwa (1) animasi lebih mengarah kepada penyadaran diri dan pembentukan serta penguatan spiritualitas. Selain itu, (2) animasi lebih dilihat juga sebagai kegiatan yang dilaksanakan secara rutin dan terus-menerus, entah ada masalah atau tidak ada masalah. Jadi animasi lebih berhubungan dengan akalbudi dan semangat/roh (mind and spirit). Misalnya, kotbah pada hari Minggu adalah satu bentuk konkrit dari animasi. Entah ada masalah atau tidak, setiap hari Minggu pasti ada kotbah. Dan arahnya adalah untuk pembentukan spiritualitas umat. Itulah animasi.

Sedangkan pemberdayaan, yang mencakup pendidikan dan perwujudan konkrit pendidikan, (1) lebih mengarah kepada perolehan pengetahuan dan ketrampilan yang menunjang karya pelayanan (ministry) KPKC. Selain itu, (2) pemberdayaan juga cendrung dilaksanakan ketika dan sesudah terjadinya suatu kasus atau masalah. Jadi lebih bersifat kasuistis dan sesaat. Misalnya: pelatihan HAM dan penyelesaian konflik. Karena persoalan ini sedang aktual, maka diadakan pelatihan HAM dan resolusi konflik di mana-mana. Pelatihan semacam ini adalah salah satu kegiatan pemberdayaan, karena diadakan dengan maksud untuk mendapatkan baik teori maupun ketrampilan untuk mengatasi konflik pada waktu atau sesudah suatu kasus atau konflik terjadi

3.3.3. Advokasi

Yang perlu mendapat perhatian dalam bidang Advokasi ini adalah sbb.:

Advokasi ialah semua bentuk pendampingan dan pembelaan bagi korban ketidakadilan dalam menghadapi pelaku ketidakadilan, baik dalam pengadilan (litigasi) maupun di luar pengadilan (non-litigasi), sambil berpegang pada prinsip suara kenabian, yakni “denuntiare” dan “annuntiare. Prinsip ini harus ditegakkan sungguh dalam advokasi, sehingga mampu membuka mata dan mengetuk hati ke dua belah pihak, yakni korban ketidakadilan dan pelaku ketidakadilan. Dengan demikian, mereka (ke dua pihak) dapat mencari jalan keluar bersama secara damai demi keselamatan pihak yang telah menjadi korban. Maka, advokasi seperti ini mempunyai orientasi ganda, yakni orientasi kepada korban dan orientasi kepada pelaku ketidakadilan.

  • Orientasi kepada korban ketidakadilan bertujuan untuk membantu korban menyadari martabatnya, hak-hak asasinya dan sekaligus kewajiban asasinya. Berdasarkan kesadaran itu barulah korban yang didampingi oleh “advokat pastoral-misioner-profetik” itu maju bersama memperjuangkan hak-hak mereka yang dilanggar atau diabaikan. Langkah perjuangan ini diprioritaskan pada langkah-langkah non-litigasi (mis. lobby, negosiasi, mediasi dan dialog). Kalau langkah-langkah tersebut sungguh-sungguh tidak berhasil, barulah dengan terpaksa jalur litigasi dipakai sebagai langkah yang paling akhir. Dengan ini mau dikatakan bahwa jalur litigasi seboleh-bolehnya dihindari, karena justru di sinilah sifat pastoral dan missioner dari advokasi menjadi nampak.
  • Orientasi kepada pelaku ketidakadilan bertujuan untuk menyadarkan mereka bahwa dua hal pokok di dalam kebijakan publik, yaitu: hukum/peraturan dan tata laksana/prosedur hukum yang sedang berlaku itu ternyata banyak mengandung ketidakadilan, yang merugikan dan menyusahkan orang banyak. Karena itu advokasi yang berorientasi kepada pelaku kejahatan itu dimaksudkan untuk merobah kebijakan publik tersebut.
  • 3.4. Pelayanan Hukum (Konsultasi Hukum)

Perlu diketahui bahwa ada banyak orang kecil dan tak berdaya justru menjadi korban karena mereka tidak tahu mengenai hukum yang berlaku di negara kita ini. Karena itu, mereka perlu didampingi baik oleh individu maupun oleh lembaga pelayanan hukum ini.

3.3.5. Pemulihan Keutuhan Ciptaan

Kondisi lingkungan hidup dan ciptaan lain di sekitar kita makin rusak dan menuntut upaya pemulihan yang segera dan berkelanjutan, untuk mengembalikan menciptakan kembali keutuhannya dan menyelamatkan manusia dari kehancuran.

3.3.6. Karya Karitatip

Penjelasan tentang bidang pelayanan ini, menurut saya, tidak perlu disampaikan lagi karena saya percaya kita semua sudah memahaminya. Hanya saja perlu diingat di sini bahwa semua bantuan karitatip bertujuan untuk menghantar mereka yang dibantu itu untuk menyadari kemurahan dan belaskasihan Allah yang nampak dalam kemurahan hati manusia. Dengan demikian, mereka yang dibantu tersebut dihantar kepada iman yang benar akan Allah yang mahapengasih dan penyayang.

4. Penutup

Pada akhir makalah ini, perkenankan saya mengutip di sini sebuah perumpamaan buat kita renungkan bersama.

Kemarahan Seorang Siswa

Pada suatu ketika, ada pelajaran

dan siswa-siswa tidak sependapat dengan guru mereka.

Mengapa harus peduli dengan saling ketergantungan global, masalah-masalah global,

dan apa yang dipikirkan, dirasakan dan dilakukan orang –orang lain di dunia?

Dan sang guru mengatakan bahwa ia bermimpi.

Dalam mimpi itu, ia melihat salah seorang siswanya,

lima puluh tahun kemudian sejak hari ini.

Siswa itu marah dan berkata,

“Mengapa demikian banyak detail kuplejari tentang masa lalu dan pemerintahan negeriku, tetapi sedikit sekali tentang dunia?”

Ia marah sebab tidak ada orang yang memberi tahu dia

Bahwa sebagai orang dewasa ia akan dihadapkan

hampir setiap hari pada masalah-masalah

yang bersifat saling bergantung secara global,

entah masalah perdamaian, keamanan, mutu hidup,

entah maslah makanan, inflasi, kelangkaan sumber daya alami.

Siswa yang marah itu menemukan dirinya menjadi korban dan sekaligus pewaris,

“mengapa aku tidak diberi penringatan?

Mengapa aku tidak diberi pendidikan yang lebih baik?

Mengapa guru-guruku tidak memberitahu aku

Tentng maslah-masalah itu dan membantu aku memahami

Bahwa aku adalah anggota bangsa manusia yang sanling bergantung?

Dengan kemarahan yang lebih besar lagi, siswa itu berteriak,

“anda membantuku memperpanjang tanganku

dengan mesin-mesin, bukan main....

mataku dengan teleskop dan mikroskop,

telinga dengan telepon, radio dan sonar,

otaku dengan komputer,

TAPI anda tidak membantuku memperluas hatiku,

Kasihku, peduliku kepada seluruh keluarga bangsa manusia.

Anda guru hanya memberiku separo roti.”

Oleh Rye Konghorn, Dikutip oleh Robert Muller, The birth of Global Civilization