Pada tanggal 9 Februari 2019, tim JPIC SVD Ruteng mengunjungi masyarakat di Nunang, desa Wae Sano korban rencana pengeboran panas bumi (Geothermal) oleh PT. Sarana Multi Infrastruktur (SMI) yang mendapat mandat pemerintah pusat berdasarkan PMK No. 62 / PMK.08 / 2017 dengan nilai investasi mencapai 3,8 Triliun. Pertemuan berlangsung di salah satu rumah adat yang dihadiri oleh 70 orang (L: 42, P: 28) terdiri dari bebrapa elemen yakni Kevikepan Labuan Bajo, JPIC SVD Ruteng, PMKRI, dan pemerintah desa Wae Sano.
Untuk diketahui bahwa pada tahun 2017, Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah meluncurkan program Flores Geothermal Island. Penetapan Flores sebagai pulau panas bumi ini tertuang dalam keputusan Menteri ESDM No: 2268 K/30/MEM/2017. Keputusan tersebut tentang penetapan Pulau Flores sebagai Pulau Panas Bumi yang memiliki 16 titik dan salah satunya berada di desa Wae Sano, Nunang.
Nunang adalah sebuah kampung yang berada di wilayah administratif desa Beo Wae Sano, kecamatan Sano Nggoang, kabupaten Manggarai Barat. Kampung Nunang terletak di sebelah selatan kecamatan Sano Nggoang, tepat di pinggir danau Sano nggoang. Batas wilayah administratif desa Wae Sano yakni sebelah utara: GL Kempo, sebelah selatan: Nanga Bere, sebelah timur: Poco Dedeng, dan sebelah barat: danau Sano Nggoang. Danau Sano Nggoang sebagai objek wisata merupakan danau vulkanik terbesar di Nusa Tenggara Timur. Sano dalam dialek masyarakat Kempo adalah danau, sementara Nggoang artinya menyala. Jadi, Sano Nggoang diartikan sebagai danau berapi atau danau yang sedang menyala. Tinggi danau Sano Nggoang adalah 757 meter dari permukaan laut (DPL) dan luasnya 513 hektar dengan kedalaman mencapai 600 meter. Danau ini juga merupakan habitat dari beberapa jenis burung endemic Flores seperti gagak (Corvus Florensis), itik gunung (Anas Superciliosa), itik benjut (Anas Gibberifrons), tesia timor (Tesia everetti), kipasam Flores (Rhipidura diluta), cekakak tunggir-putih(Caridnax fulgidus) dan lainya.
Desa Wae Sano terdiri dari 7 dusun dengan 6 anak kampung. Jumlah penduduk desa Wae Sano sebanyak 1.267 jiwa yang terdiri dari 285 KK. Luas wilayah desa Wae Sano adalah 20.000 hektar dengan luas pemukiman ± 10.000 hektar. Beberapa sumberdaya infrastruktur yang mendukung yakni adanya beberapa bangunan publik seperti gedung SMPN 6 Sano Nggoang, SDK Nunang, SDN Ndasak, SDI Sano Nggoang, Pustu Nunang, Gereja St. Mikael Nunang, Masjid Ta’al, dan Kantor Desa Wae Sano.
Menurut kepala Desa Wae Sano (Yosep Subur), mayoritas masyarakat adalah petani dan peternak. Komoditas pertanian desa yakni padi sawah, kopi, cengkeh, coklat, vanili, kelapa, dan pisang. Sedangkan masyarakat juga membudidaya peternakan besar dan kecil. Demi mendukung keberlangsungan pertanian dan peternakan, desa Wae Sano memiliki 25 sumber mata air yang tersebar di 4 kampung yakni Lempe (3 mata air), Nunang (4 mata air), Ndasak (8 mata air), Ta’al (10 mata air). Pada musim kemarau, debit air dari 25 sumber ini berkurang.
Aspek sosial-budaya masyarakat desa Wae Sano kental akan budaya dan adat Manggarai, baik dari segi struktur, ritus, dan filosofinya. Di setiap kampung memiliki rumah adat/gendang, halaman/natas, mesbah/compang, tanah ulayat/lingko. Struktur adat Nunang terdiri atas tu’a golo sebagai pemimpin umum komunitas adat setempat sekaligus memiliki hak membagi tanah, tu’a uma sebagai penguasa lingko tertentu, dan penggawa yang membuat batas-batas setiap lingko. Adapula tu’a batu/suku sebagai pemimpin suku. Suku yang mendiami kampung Nunang terdiri atas suku Lako (suku pertama) dan suku Dese. Situasi kehidupan masyarakat di desa Wae Sano sangat rukun dalam leberagaman agama, suku, dan ideologi politik lainnya. Hal ini juga tampak dalam kesolidan masyarakat menolak investasi Geothermal.
Jika aktivitas pengeboran Geothermal berjalan di Nunang, maka masyarakat sekitar akan dihadapkan dengan beberapa dampak berikut:
Pertama, Dampak Ekologi yang ditandai dengan berkurangnya sumber mata air, kerusakan lahan pertanian, tumbuhan menjadi keropos dan mati, terjadinya gempa bumi. Kedua, Dampak Ekonomi yang ditandai dengan gagal panen, kehilangan mata pencaharian. Ketiga, Dampak Sosial-Budaya yang ditandai dengan timbulnya konflik horizontal dan vertical, terganggunya relasi sosial, hilangnya ritus adat dan situs budaya, meningkatnya penyakit ISPA dan kulit, dan punahnya kampung Nunang, maka pada akhirnya hanya ada tertulis “DI SINI PERNAH HIDUP ORANG NUNANG”
Masyarakat desa Wae Sano awalnya terkategori menjadi kelompok pendukung Geothermal yang mayoritasnya adalah pemilik lahan, kelompok penolak Geothermal, dan kelompok netral yang belum memihak salah satunya. Masyarakat yang mendukung sampai saat ini tidak merubah posisinya karena disinyalir sudah menerima uang dari PT SMI, sedangkan mayoritas masyarakat mulai menolak kehadiran dan aktivitas Geothermal. Dan, kampung yang akan berdampak langsung adalah kampong Nunang sebab lokasi pengeboran dan pembangunan reservoir (tempat penampung gas/panas bumi) hanya berjarak 30 meter di belakang rumah tempat pertemuan hari ini dilangsungkan.
Berdasarkan data yang dihimpun, terdapat hanya sekitar 13,7% kepala keluarga yang menerima/mendukung aktivitas Geothermal di Wae Sano, dan sebanyak 86,3% menolak. Perincian prosentase berdasarkan kampung sebagai berikut:
a. Kampung Ndasak terdiri dari 44 KK: menolak: 39 KK, mendukung: 4 KK, dan belum menentukan sikap: 1 KK
b. Kampung Nunang terdiri dari 42 KK: menolak: 33 KK, mendukung: 7 KK, dan belum menentukan sikap: 2 KK
c. Kampung Lempe terdiri dari 30 KK: menolak: 30 KK, mendukung: 25 KK, dan belum menentukan sikap: 5 KK
d. Kampung Ta’al terdiri dari 108 KK dan semuanya belum menentukan sikap; apakah mendukung atau menolak kehadiran Geothermal.
Sikap penolakan masyarakat desa Wae Sano juga didukung oleh pihak pemerintah desa, beberapa lembaga advokasi, dan Gereja Katolik Keuskupan Ruteng. Beberapa inisiatif masyarakat menulis surat penolakan yakni pada tanggal 2 Agusutus 2018 yang lalu, masyarakat melayangkan surat penolakan pembangunan Geothermal dengan dua point tuntuan: pertama, karena titik pemboran yang ditetapkan PT SMI persisnya di belakang kampung Nunang, dan tempat tersebut adalah tempat warisan leluhur yang dikramatkan. Tempat tersebut adalah tempat kuburan leluhur keturunan pertama masyarakat kampong Nunang termasuk benda-benda pusaka yang sakral milik leluhur mereka. Kedua, lokasi pemboran hanya 60 meter dari kampung Nunang sehingga aktivitas pengeboran tersebut sangat mengganggu kenyamanan dan ketentraman masyarakat kampung Nunang
Sikap penolakan juga disampaikan Komunitas masyarakat Desa Wae Sano saat menggelar aksi peace protest di depan kantor DPRD Kabupaten Manggarai Barat, pada tanggal 20 Desember 2018. Dalam aksi tersebut, terdapat 7 (tujuh) pernyataan sikap penolakan yang dibacakan oleh ketua komunitas; Yosef Erwin yakni: pertama, pemukiman warga. Sesuai hasil survey, lokasi aktivitas PT. SMI berada di dataran tinggi dan kampung di bagian bawah. Jarak dari titik pengeboran Geothermal hanya sekitar 30 meter dari rumah warga. Kedua, lahan pertanian dan perkebunan. Sebaran titik melalaui hasil survey pengeboran Geothermal berada langsung di lahan pertanian masyarakat.
Ketiga, mata air. Lokasi rencana eksplorasi berjarak sekitar 200 meter dari Wae Kula yang merupakan salah satu mata air penting bagi seluruh warga Nunang. Keempat, fasilitas pemerintah dan Gereja. Letak SDK Nunang dan SMPN 6 Sano Nggoang yang berhimpitan langsung dengan danau Sano Nggoang juga berpotensi rusak dan tenggelam mengingat rencana pengeboran Geothermal berada di dataran tinggi yang jaraknya hanya 150 meter. Kelima, sirus budaya. Rencana lokasi pengeboran berada langsung di belakang Mbaru Tembong (rumah adat) dari salah satu keturunan kampung Nunang.
Keenam, desa ekowisata. Desa Wae Sano memiliki Danau Sano Nggoang yang merupakan danau vulkanik terbesar di NTT dan merupakan salah satu ikon wisata di Manggarai Barat. Ketujuh, konflik sosial. Pengembangan Geothermal jelas akan menimbulkan konflik sosial karena mengelompokkan warga menjadi pro dan kontra.
Beberapa aksi lapangan penghadangan perusahaan juga dilakukan oleh warga. Pada tanggal 10 dan 11 Januari 2019, warga Lempe, Ndasak, dan Nunang menghadang PT. SMI yang akan melakukan survey dan melakukan pembangunan basecamp di wilayah itu.
Sikap Gereja dan Mitranya
Gereja Katolik keuskupan Ruteng dalam kerjasama dengan JPIC dan stakeholder lainnya mengajak semua pihak untuk berjuang melawan ketidakadilan dan berpihak pada kaum miskin dan lemah/option for the poor. Semangat ini sebagaimana diungkapkan dalam dekrit Gaudium et Spes (GS) artikel satu (1) “ kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga”.
Pada pertemuan hari ini, Gereja Keuskupan Ruteng hadir untuk mendengar duka dan kecemasan warga Nunang seraya menghadirkan kegembiraan dan harapan yang kokoh di tengah gempuran investasi yang mengamcam. Romo Vikep Labuan Bajo (Rm. Rikardus Manggu, Pr); dalam kesempatan itu mengungkapkan bahwa Gereja keuskupan Ruteng hadir untuk melihat dan mendengar lebih dekat keluh kesah dan harapan warga Nunang yang sedang dirundung duka Geothermal. Gereja selalu terpanggil untuk berpihak pada korban dan kaum terpinggirkan. Sebagai masyarakat dan umat, kita semua tidak menolak pembangunan, tetapi mengkritisi dan terlibat dalam pembangunan itu. Namun, pembangunan yang mengancam warga dan umat perlu dievaluasi dan dihentikan.
Lebih lanjut, sekretaris Vikep (Rm. Silvi Mongko, Pr) menekankan bahwa Gereja mendukung pembangunan untuk manusia, yang tidak merugikan manusia dan merusak tatanan sosial. Untuk itu, berkaitan dengan situasi di Nunang, Gereja keuskupan Ruteng akan menghimpun dan mengkaji semua informasi yang ada, dan lalu mengeluarkan rekomendasi dan keputusan pastoral kepada semua elemen.
Pada kesempatan yang sama, Pater Simon Suban Tukan, SVD selaku koordinator JPIC SVD Ruteng mengungkapkan bahwa kehadiran timnya di Nunang karena mendengar tangisan warga Nunang di Ruteng. JPIC SVD Ruteng mengakui bahwa ada potensi panas bumi di Nunang, tetapi apakah potensi itu dapat dan layak dipergunakan? Salah satu alasan JPIC SVD Ruteng memihak warga yang menolak pembangunan Geothermal adalah analisis Daya Dukung dan Daya Tampung Desa Wae Sano yang sangat tidak memungkinkan. Di akhir pertemuan, Pater Simon berpesan agar semua warga membangun dan menjaga relasi yang baik dengan Tuhan (Mori agu ngaran), sesama (ase kae), dan lingkungan alam (tana lino). Ia juga berpesan kepada warga Nunang agar dalam situasi ini tidak terpancing dan neka gelang teti kope, neka gelang tida ata.
Motif dan Trik Perusahaan
Dalam menjalankan aktivitas awalnya, hampir semua perusahaan pertambangan dan pengeboran sumberdaya alam menggunakan trik yang sama untuk mengelabui masyarakat dan mengikis daya perlawanan masyarakat. Dari testimoni warga Nunang, tampak jelas bahwa PT MMI sedang menjalankan manuver tipu daya masyarakat dan trik devide et impera (memecahbelah untuk menguasai). Beberapa yang terekam yakni pertama, PT SMI menggunakan tameng pemerintah daerah dan pemimpin lokal (tu’a golo) sebagai untuk memuluskan misinya. Sosialisasi di tingkat desa dan kecamatan selalu menghadirkan bupati, wakil bupati dan sekda. Selain itu, tu’a golo Nunang terlibat menerima dan mendukung investasi Geothermal di Nunang.
Kedua, PT. SMI menggunakan aparat kepolisian, tentara, dan Pol PP untuk memaksa warga menerima dan menandatangani dokumen persetujuan. Ketiga, mengumbar janji CSR/kompensasi sosial dengan membagi uang, rencana bangun infrastruktur, dan lainnya. Keempat, memaksa warga membubuhkan tandatangan di daftar hadir yang tidak ada Kop/judulnya. Kelima, menjanjikan jasa tenaga kerja lokal untuk dipakai sebagai pegawai/pekerja/satpam. Dan, para pemilik lahan tidak pernah diundang untuk menghadiri pertemuan atau sosialisasi terkait rencana, dampak, dan prospek Geothermal di Nunang.
Akhirnya,,,
Pada akhir pertemuan, beberapa kaum ibu menyampaikan isi hati mereka dalam nada penolakan. Ibu Rosalia Mia merasa ditipu dengan janji manis PT. SMI dan mendapat intimidasi dari aparat kepolisian dan Pol PP. Ia dipaksa menandatangani surat tanda terima undangan yang tidak ada judulnya, dipaksa mengikuti pertemuan di kantor desa. Selain itu, beberapa ibu mengungkapkan dalam nada sedih bahwa mereka menolak keras PT. SMI dan tidak mau pindah dari kampung halaman mereka. Biar makan ubi (maram hang teko), kami tidak butuh uang 3,8 Triliun dari perusahaan.