Dalam rangka melaksanakan kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, JPIC SVD Ruteng mengadakan seminar dengan tema: “CIPTAKAN RUANG AMAN BAGI PEREMPUAN DAN ANAK”. Kegiatan ini dilaksanakan di aula KSP Mawar Moe pada tanggal 30 November 2022 yang dihadiri oleh para guru dari tingkat SD, SLTP, SLTA dan perguruan tinggi; Universitas Katolik Indonesia, Sekolah Tinggi Ilmu Pastoral dan GMNI cabang Ruteng dan warga masyarakat sekitaran kota Ruteng.
Kekerasan terhadap perempuan dan anak telah menjadi perhatian serius pemerintah Indonesia. Upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah, melainkan perlu melibatkan masyarakat, dalam bentuk kemitraan dan kerjasama antara unsur pemerintah dengan kementrian/lembaga terkait dan pemerintahan daerah dengan lembaga swadaya masyarakat/NGO lainnya.
Perempuan dan anak sering berada dalam bahaya baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Rumah atau keluarga dimana perempuan dan anak seharusnya merupakan tempat yang paling aman bagi perempuan dan anak, rumah justru menjadi tempat dimana mereka menghadapi kekerasan. Di luar rumah perempuan dan anak juga sering mendapatkan kekerasan baik kekerasan fisik maupun seksual termasuk diskriminasi.
Kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan persoalan yang perlu diselesaikan. Kerap kali, korban kekerasan tidak menyuarakan apa yang mereka alami, baik itu kekerasan secara fisik, psikis, seksual maupun penelantaran. Banyak diantara korban yang kesulitan melapor atau tidak berani untuk melaporkan kekerasan yang mereka alami dan bahkan orang dekat (orang tua, saudara-saudari/keluarga dan masyarakat) tidak berani untuk melaporkan kejadian tersebut kepada pihak yang berwajib untuk diselesaikan sehingga menjadi fenomena yang dari hari ke hari semakin meningkat.
Dalam sambutannya; P. Simon Suban Tukan, SVD (Koordinator JPIC SVD Ruteng) menyampaikan bahwa: “Tujuan diadakannya kegiatan ini adalah: untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang bentuk-bentuk kekerasan dan pendekatan hukum kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, membangun kesadaran untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak, membangun keberanian korban/masyarakat untuk melaporkan setiap kasus kekerasan yang dialami dan/dilihat yang terjadi di tengah masyarakat”. Lebih lanjut, P. Simon menyampaikan pula bahwa: “Pada tahun 2018, JPIC SVD Ruteng menginisiasi dibentuknya Perda perlindungan terhadap perempuan dan anak bekerjasama dengan beberapa lembaga pemerhati lainnya dan direkomendasikan kepada pemerintah daerah dan melahirkan Perda perlindungan pada perempuan dan anak No. 10/2018. Setiap tahunnya JPIC SVD Ruteng mengambil bagian kampanye 16 hari penghapusan kekerasan perempuan dan anak. Melalui seminar ini belajar bersama mengakiri kekerasan demi kehidupan kita bersama”.
Dalam kegiatan ini, panitia mengundang Ibu dr. Imaculata Veronika (Sekretaris Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kab. Manggarai), Bapak Antonius Habun(Kanit PPA Polres Manggarai), Ibu Priska E. M. Wea (Staf PPA Polres Manggarai), dan P. Simon Suban Tukan, SVD (Koordinator JPIC SVD Ruteng) sebagai narasumber untuk memberikan pemahaman dan penyadaran serta informasi kepada para peserta.
Dalam materinya, Ibu dr. Imaculata memberikan gambaran tentang bidang-bidang yang dibidangi oleh P3A yang antara lain: kesetaraan gender, perempuan dan urusan anak dan perlindungan anak. Ada dua bidang yang mengurus supaya tidak terjadi kekerasan dan ada dua bidang yang mengurus setelah terjadi kekerasan. Dengan mengharapkan agar Manggarai yang maju, keadilan dan berdaya saing dengan misi meningkatkan mutu sumber daya manusia dengan tujuan menurunkan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak serta sasaran yang ingin dituju adalah meningkatkan kesetaraan gender dalam pembangunan dan optimalnya perlindungan terhadap perempuan dan anak. Dalam menjalankan semua harapan dan cita-cita itu, mantan Direktur RSUD Ben Mboi itu mengatakan bahwa tidak terlepas dari hambatan dan tantangan seperti: Minimnya media menyuarakan kekerasan terhadap perempuan dan anak, minimnya anggaran untuk melakukan sosialisasi diberbagai kecamatan di Kabupaten Manggarai.
Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Kabupaten Manggarai menyampaikan bahwa kita kerjasama dan berempati terhadap kekerasan yang sering terjadi terhadap perempuan dan anak serta memberikan ruang yang cukup kepada perempuan untuk mendampingi perempuan dan anak. Merujuk pada undang-undang perlindungan anak, yang wajib melindungi anak adalah: “Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga dan orang tua atau wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap Penyelenggaraan perlindungan anak”.
Dalam materi yang disampaikan oleh ibu Priska sejak Janauari-November 2022 terdapat 47 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang ditangani oleh Polres Manggarai dan tiga diantaranya adalah kasus persetubuhan. Untuk mendukung pengentasan kekerasan terhadap perempuan dan anak; perlu diupayakan kerjasama dari semua pihak dan kehadiran dari berbagai elemen kehidupan menjadi faktor endukungnya dengan cara: Pemerintah membuat Kebijakan yang Pro terhadap Perlindungan Anak, Sekolah menjadi ruang strategis untuk memberikan Pendidikan Moral bagi anak, sekolah minggu maupun Pondok Pesantren menjadi Ruang Pembelajaran untuk membina iman yang baik, kedewasaan berfikir, dan Aklak Mulia, Keluarga menjadi Aktor Utama dalam membentengi Moral dan Ahlak anak, serta mengawasi aktifitas Anak selama di rumah, dan Masyarakat Umum, berpartisipasi dalam bidang preventif (pencegahan), pengawasan, dan Pelaporan Kasus Anak.
Kepala Kanit PPA yang lebih akrab disapa Pak Anton itu menyampaikan bahwa: “Guru dilindungi oleh undang-undang untuk tidak dipidana ketika menjalankan profesinya; tetapi harus memilah antara mendidik, membina dan/atau melakukan kekerasan terhadap anak didiknya. Dan untuk mencegah terjadinya kekersan terhadap perempuan dan anak di sekolah perlu adanya sosialisasi di sekolah-sekolah; namun tidak maksimal kalau tidak ada kerjasama antara guru, orang tua dan anak.” Lebih jauh ia menyampaikan bahwa kekerasan yang sering terjadi adalah bentuk ekspresi dari peristiwa atau persoalan yang dialami oleh seseorang dan sebagian besar kasus yang ditangani oleh Polres Manggarai menunjukkan bahwa pelaku kekerasan itu dari keluarga yang kurang harmonis. Salah satu anjuran yang ditawarkan kepada pihak sekolah adalah membuat aturan khusus karena sekolah mempunyai otoritas untuk membuat aturan khusus itu, dan disosialisasikan pada saat pendaftaran awal masuk sekolah kemudian ditandatangani oleh orang tua murid yang bersangkutan. Alasan diadakan kegiatan-kegiatan seperti seminar, workshop dan lain sebagainya dengan mengangkat isu kekerasan terhadap perempuan dan anak karena merekalah yang menjadi rentan terhadap kekerasan, dianggap lemah dan bahkan tidak diperhitungkan dalam masyarakat. Tantangan yang berat adalah belum adanya psikiater untuk mendampingi ara korban kekerasan, karena rata-rata korban mengalami trauma pasca mengalami kekerasan yang dialaminya. 90% anak yang mengalami kekerasan akan putus sekolah. Perlu adanya kerjasama dalam mengungkapkan kasus dari berbagai pihak sehingga maemudahkan aparat penegak hukum bertindak cepat dalam menangani dan mencegah kekerasan dalam bentuk apapun sehingga dengannya persoalan yang dilaporkan dapat dipilah masalahnya; mana yang dapat diproses atau tidak dapat diproses.
Sebagai orang Manggarai yang berbudaya, kita dihadapkan dengan pelabelan sejak dini dengan istilah-istilah yang menurut budaya adalah hal yang wajar namun dalam perjalanan waktu dan pertumbuhan serta perkembangan anak, istilah atau sapaan “negatif” yang diberikan kepada seorang anak menjadi alasan terjadinya kekerasan dan bahkan diskriminasi secara tanpa sadar sejak dini. Hal ini disampaikan lebih jauh oleh Pater Simon dalam materinya dengan tema: “Kesetaraan dan keadilan gender”. Semua orang diperlakukan sama baik didepan hukum maupun dalam kebersamaan dalam keluarga. Kekerasan itu lebih banyak terjadi didalam keluarga-keluarga muda.
Adapun istilah-istilah dalam Bahasa Manggarai yang disampaikan oleh Pater Simon adalah seperti berikut: Nuk de suku (Menurut Suku); Ata One: Wae de Suku (Keturunan dari suku), Kambe Ema (Pengganti ayah), Mbeher Weki (Kekuatan), Pande Mese Ngasang (Harga diri keluarga), Lut le nuk de ende agu ema (Menurut pemikiran mama-Bapak), Do koes (Harus lebih banyak), Toe Manga, hoog da’at (Tidak ada, terburuk), Toe manga kawe mbeko (Mencari kekuatan lain untuk mendapatkan anak), Toe manga kilo kole (Tidak ada istri baru). Ata Pe’ang: Wina Data (Istri orang), Kaeng Musi (Tinggal dibelakang à rumah, Neho Ba Weki de Ine Wai (seperti Pembawaan diri erempuan), Pande dedek uku data (Mengembangkan suku orang), Neka do bail (Jangan terlalu banyak), Toe manga, kong ga (Tidak ada, biarkanlah), Toe manga co’on (Tidak apa-apa), Nganceng oken (Dapat dibuang/lepas), Du loas (Waktu dilahirkan), Lantik ciri ata one “ituh ga’ (Dinobatkan sebagai orang dalam), Du lari anak koe nang agu uwa (Masa kecil dan remaja à muda), Momang Lata tua (Disayangi orang tua), Do labarn (Banyak bermain), Sekolah mese (Sekolah tinggi), Lor/andor (kebebasan berekspresi), Kawe wina (Cari istri), Toko gelang, to’on musi (Tidur cepat, bangun telat), Nganceng lebih wina (Beristri banayak), Oke wina tala (Lepas istri), Tegi sida (Kewajiban membayar pihak keluarga laki-laki), Tiba warisan (Terima warisan), mata: mesen keta hormat (Penghormatan untuk yang lebih tinggi), Lantik ciri ata one “ ham ga” (Dinobatkan sebagai orang dalam), Momang lata tua (Disayangi orang tua), Do campe ende (Banyak membantu mama), Remo bae balas surak (Sudah tahu membalas surat à dewasa), Kumet one mbaru (Tinggal terus di rumah), Gereng surak data (Menunggu surat dari laki-laki), Toko musi, to’on gelang (Tidur terlambat, bangun cepat), Ine da’at (Mama yang tidak baik), Mbi mbor mosen (Hidup tidak jelas), Bajar (Bayar), Eme Momang (Kalau sayang), Kebas kaut ( biarkan saja), Ngger le boa (Antar ke kuburan), Bo Betong (Bunyi/ledakan Meriam), Jarang leti (Kuda tunggang), Ela Pangga (Mengayomi à ponaan), Wakar data Mata (Arwah orang mati), Anak de Nara (tegi sida) (Anak dari saudara klaki-laki), Toe danga (Tidak terlalu), Toe manga (Tidak ada), Bajar Ela Pangga (Bayar babi oleh ponaan) à sebagai imbalan atas doa dari paman, Anak de Weta bajar sida (Anak dari saudari).
Didalam rumah; orang tua hendaknya memberikan pendampingan dan pembatasan penggunaan HP kepada anak sehingga tidak mengganggu aktivitasnya untuk belajar atau bermain. Selain itu, media sosial juga menjadi wadah mengkampanyekan tentang kekerasan sehingga dapat diketahui masyarakat luas agar dapat dicegah dan ditangani dengan lebih baik. Dalam masyarakat, sering terjadi kekeliruan dalam memahami apa itu gender. Karena itu; korrdinator JPIC SVD Ruteng memberikan sedikit pemahaman tentang jenis kelamin dan gender. Jenis kelamin: Perbedaan biologis, hormonal dan anatomi fisiologi antara perempuan dan laki-laki (Bersifat universal, sama di seluruh dunia, Tidak mudah dipertukarkan, ‘God given’). Gender: Deretan sejumlah perbedaan laki-laki dan perempuan secara sosial (peran) dan psikologis yakni perbedaan yang dibangun dan dikembangkan oleh masyarakat sendiri , oleh karenanya sangat historis dan cultural. Dipelajari melalui proses sosialisasi (dalam keluarga, institusi pendidikan negara dan lain-lain) dan budaya. Gender itu dinamis sesuai perubahan. Identitas gender: diri terpikirkan dan dimengerti bagaimana seseorang memikirkan dirinya dan memahaminya. Ekspresi gender: cara bertindak, cara berpakaian, cara kelakuan dan berinteraksi. Tubuh biologis: Mengacu kepada obyektivitas organum secara terukur, hormone dan kromosom (perempuan: vagina, ovarium, kromosom XX; laki-laki: penis, testis, kromosom XY; dan Intersex (kombinasi dari kedua hal tersebut). Orientasi seksual: Kepada siapa seseorang tertarik secara fisik, spiritual, dan emosional berdasarkan sex/gender, dalam hubungannya dengan sex/gendernya.
Akibat pembedaan: Peminggiran dan pemiskinan (marjinalisasi perempuan), Pelabelan (stereotype), Kekerasan Terhadap Perempuan (fisik, psikis, seksual), Penomorduaan (sub ordinasi), Beban berganda (multiple burden). Bentuk ketidakadilan gender: Marginalisasi, yaitu proses pemiskinan terhadap perempuan akibat dari suatu hal dan dapat terjadi di mana saja (rumah tangga sampai negara); Subordinasi, yaitu menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting atau kelas dua; Pelabelan/stereotype, yaitu memberi label terhadap perempuan yang cenderung merugikan; Kekerasan, yaitu setiap tindakan yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman dan tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi perempuan; Beban kerja di mana perempuan mempunyai beban kerja yang berlipat ganda karena kerancuan kodrat dan gender. Kesetaraan gender: Persamaan hak-hak perempuan dan laki-laki didepan hukum dan aturan, tertulis maupun lisan; dengan melihat perbedaan persoalan gender dan perbedaan biologis (serta peran-peran reproduksi) perempuan/HKSR). Diskriminasi terhadap perempuan: “setiap perbedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak hak asasi manusia dan kebebasan sipil ataupun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka atas dasar persamaan antara laki laki dan perempuan”.
Pada akhirnya, kita semua diharapkan untuk mampu menerapkan Komitmen SDGs 2030: Menyadari akan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan & anak perempuan merupakan kontribusi penting terhadap kemajuan keseluruhan tujuan dan target, perempuan dan anak perempuan harus dapat menikmati Akses yang sama terhadap pendidikan yang berkualitas, sumber daya ekonomi dan partisipasi politik, juga kesempatan yang sama dengan laki-laki dan anak laki-laki untuk kesempatan kerja, kepemimpinan dan pengambilan keputusan pada setiap level, Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan/menguatkan semua perempuan dan anak perempuan.