Blusukan di Jalan Badak – Palangkaraya:

276 Pekerja Sawit Asal Belu NTT terlantar selama 8 bulan di Palangkaraya


Beberapa suster dan pastor Provinsial SVD dan SSpS blusukan di kota Palangkaraya minggu sore, 17 April lalu. Sasarannya adalah melihat dan berjumpa sekelompok pekerja asal Belu, Timor Barat yang sedang “mengungsi” di barak-barak, tepatnya di halaman rumah Bapak Kardiyansa di Jl. Badak. Kondisi barak tempat tinggal mereka amat memprihatinkan. Jika hujan turun, tanah tergenang air dan becek dan air hujan meniris di sela-sela terpal yang berlobang-lobang; jika matahari menerik, panasnya mengengat,  ibarat oven yang membakar. Kondisi seperti  ini telah berlangsung selama 8 bulan; Sudah ada 2 bayi dan 3 orang dewasa yang  meninggal selama pengungsian itu.

Awalnya, mereka dapat bantuan beras dan lauk-pauk untuk makan dan minum, sumbangan dari umat paroki, gereja, keluarga Flobamora dan masyarakat sekitarnya. Makin lama bantuan itu semakin berkurang. Sekedar bertahan hidup, mereka harus berutang di antara mereka; ada yang jual sayur atau barang bekas di pinggir jalan raya. Sementara anak-anak tidak bisa bersekolah.

Memang sudah ada upaya-upaya untuk mengeluarkan para buruh ini dari kondisi yang tidak manusiawi itu oleh pihak gereja, pastor dan suster, Disnaker Palangkaraya dan Paguyuban Flobamora. Tetapi mereka memilih untuk tetap bertahan. Karena mereka masih bermimpi untuk mendapatkan uang pesangon puluhan hingga ratusan jutaan rupiah dari Perusahaan Kelapa Sawit, PT. Agro Lestari Santoso, milik Sinar Mas group. Totalnya 11 M lebih. Mereka menggantungkan nasib mereka pada seorang bernama Kardiyansa, yang pernah menjadi Ketua Serikat Buruh di Kalteng. 142 pekerja telah memberi  kuasa kepada Kardiyansa untuk melakukan upaya hukum guna mendapatkan hak-hak para pekerja tersebut. Namun sejauh ini belum satu lembar berkas gugatan pun masuk ke pengadilan industrial. Hanya saja terus dijanjikan kepada para buruh bahwa proses hukumnya sedang diupayakan di pengadilan walaupun tidak ada satu pun yang tahu sampai di mana, kecuali Kardiyansa sendiri. Sementara itu para pekerja pernah diminta untuk sumbangan uang Rp. 100.000 per orang untuk biaya perkara, tanpa kuitansi. Kondisi seperti ini terus berlangsung dan para buruh terus menanti dalam ketidakpastian.

Di tengah ketidakpastian itulah, para buruh yang galau itu mendapat kunjungan dadakan dari para tamu yang tidak disangka-sangka. Para suster dan pastor SVD dan SSpS dari Indo-leste  adakan blusukan di sore hari minggu , 17 Apri lalu. Walaupun kunjungan itu terbilang singkat, namun amat membekas di hati. Tak pelak lagi, persoalan buruh asal Belu NTT di Jl.  Badak itu diangkat menjadi salah satu agenda dalam pertemuan tahunan para provinsial dan Regional SVD dan SSpS selama sepekan itu. Peserta sidang sepakat untuk mengudang perwakilan Paguyuban Flobamora untuk berbicara memberikan informasi dan latarbelakang tentang persoalan para buruh tersebut. Juga disepakati agar semua peserta lakukan kunjungan sekali lagi pada hari Kamis (21/4) dan membawa sembako untuk dibagikan ke setiap keluarga buruh.

Rombongan para provinsial dan regional Indo-Leste tiba jam 5 sore di kamp pengusi di Jl. Badak. Disambut oleh ibu-ibu, bapa-bapa dan anak-anak yang menerima rombongan tersebut di tengah remang-remang lampu neon yang menyala beberapa  saja. Lalu diadakan dialog singkat. Ketika ditanya, apakah mereka mau pulang kampung di Belu sana? Serempak meraka jawab mau, tapi…. caranya bagaimana?  Bagaimana mereka bisa keluar dari barak  saat ini dan mau ke mana? Pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa mereka jawab sendiri. Sementara mereka masih terikat perjanjian kontrak  yang dikuasakan kepada Karliyansa untuk mengurus proses di pengadilan. Sempat berbicara dengan Kardiyansa per telepon yang saat itu berada di luar kota. Ketika ditanya, sejauh mana urusan di pengadilan terkait kasus buruh tersebut, jawabannya tidak jelas. Tetapi dengan nada tinggi  ia berkata, “Kalau mau datang ke rumah saya, jangan masuk sembarangan.  Minta surat ijin lebih dulu.”

Melihat kondisi tempat tinggal yang buruk itu, saat itudi disarankan agar ibu-ibu dan anak-anak dipulangkan lebih dulu ke kampung dan bapa-bapa tetap tinggal di Palangkaraya untuk menyelesaikan tuntutan mereka dengan pihak perusahaan. Setelah sembako dibagikan, P. Leo Kleden lalu mengangkat doa mohon keselamatan para buruh dan meminta terang kebijakasanaan dari Allah Tirtunggal untuk menemukan jalan terbaik guna mengatasi persoalan buruh tersebut.

Keesokan harinya Tim JPIC-VIVAT dan Paguyuban Flobamora bertemu dan berdiskusi dengan 7 orang perwakilan para buruh. Membahas exit-strategi para buruh tersebut dari barak pengungsi. Dalam pertemuan itu disepakati bahwa  pihak buruh mencabut surat kuasa dari Kardiyansa. Setelah itu mereka akan keluar dari kamp pengungsi di Jl. Badak dan tinggal di tempat penmpungan yang disiapkan oleh pihak gereja (JPIC dan Keuskupan). Agar tidak terjadi hal-ha yang diinginkan, minta dikawal oleh aparat kepolisian saat peralihan.

Ketika Ardiyansa mendengar bahwa para buruh akan cabu surat kuasanya dan keluar dari rumahnya, ia marah dan beri ultimatum:dalam waktu 1 x 24 jam para buruh dan barang-barangnya harus keluar dari rumahnya. Tim JPIC dan Flobamora sempat kebingungan, soalnya tempat penampungan mereka sementara belum disiapkan. Lagi pula bahan logistic untuk makan dan minum belum tersedia.

Saat ini, ketika laporan ini dibuat, sedang berlangsung proses evakuasi para pengunsi buruh tersebut yang dikawal oleh pihak keamanan.

Tim JPIC SVD-SSpS Kalimantan di Palangkaraya membuat sebuah prosposal singkat, minta bantuan dana sebesar Rp. 60 ,020.000,- untuk biaya sewa tempat tinggal (40 barak) dan logistic (beras dan lauk-pauk) dan kesehatan selama sebulan. Para buruh berjumlah 276 orang terdiri dari: 102 orang dewasa (52 kk), 103 lajang, 71 anak-anak (Proposal dan rincian biaya terlampir).

Rencana selanjutnya adalah: 1) melakukan upaya pemulangan para buruh ke kampung halaman dengan melibatkan pihak Pemda Belu, NTT; 2) memediasi pertemuan para buruh dengan pihak perusahaan guna membicarakan hak-hak para buruh yang akan difasilitasi oleh pihak Disnaker Kalteng; 3) mencari peluang tempat kerja baru bagi para buruh yang ingin tetap tinggal di Kalimantan; 4) melakukan investigasi jurnalis tentang kasus tersebut.


Paul Rahmat SVD
VIVAT Indonesia, Jakarta